Islam merupakan agama mayoritas dikalangan
masyarakat Indonesia, acapkali mengalami problem dalam hal tenaga kerja. Walaupun
agama Islam telah menuntaskan problem tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits
serta diterima oleh berbagai kalangan beragama dengan dasar syariah, namun problematik
dalam masyarakat masih dijumpai.
Melihat rakyat barat seperti Eropa dan
Amerika dalam hal tersebut tidak terlalu dibahas begitu juga dengan negara maju
seperti Jepang apalagi negara yang akhir-akhir ini lagi menunjukkan taringnya
seperti China dan India terus berusaha menunjukkan kualitas negaranya. Tentu harus
ada upaya dalam problem ini untuk menghadapi masa depan Indonesia sekaligus
mempersiap sumber daya manusia yang unggul untuk pasar bebas yang semakin
dekat.
“Akibat kebiasaan menjadi kebudayaan”
Kebiasaan yang terjadi di masyarakat kita
ini, sering kali membahas etnik dan kebudayaan orang lain kecuali soal keuangan
sendiri. Tetapi banyak kemiripan dalam kebiasaan ketenagakerjaan di
negara-negara Arab, Turki, Iran, Pakistan, Bangladesh dan Malaysia yang
membenarkan peraturan umum (generalization) mengenai soal ketenagakerjaan di
negara-negara tersebut, sekalipun banyak perbedaan etnik dan kebudayaan. Namun kenyataan
ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa ciri-ciri keserupaan itu bersumber pada
agama Islam. Bagi seorang pengamat dari luar syarat-syarat kerja itu tampaknya
agak serupa dengan di negara-negara Dunia Ketiga, baik negara Islam maupun
negara yang bukan Islam. Perbedaan yang kita sadari, antara kebiasaan yang
terdapat di Amerika utara dan Eropa barat, misalnya, mungkin hanya mencerminkan
perbedaan perkembangan perburuhan di negara-negara industri bersangkutan dan
bukan merupakan perbedaan yang diakibatkan oleh faktor-faktor keagamaan.
Memang dalam al-Qur’an dan al-Hadits kurang
banyak bahan-bahan yang khusus mengatur soal ketenagakerjaan, dibandingkan
dengan yang menyangkut segi lain dari kegiatan ekonomi. Namun bukan berarti
tidak ada karena para ulama Islam maupun para pemikir Islam terus berusaha
mencari jalan keluar sehingga terbentuknya gerakan ekonomi syariah (Gres!) yang
mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri mencanangkan adanya gerakan
ekonomi syariah (Gres!) itu sendiri, walaupun negara lain sudah ada yang lebih
dahulu melakukannya seperti Malaysia.
“Upah yang layak” masih menjadi masalah
Walaupun gres! sudah ada di Indonesia
begitu dengan para ulama dan ekonom Islam beserta mereka yang setuju dengan
adanya ekonomi syariah berdasarkan syariah yang sesuai di berbagai kalangan
tetap saja kendala masih ada yaitu bagian upah. Memang
penyesuaian upah sudah ada di Indonesia, walau tidak sebanding dengan di dunia
Barat.
Mungkin banyak alasan untuk keadaan semacam
ini. Pertama, biasanya di negara-negara Islam secara keseluruhan, situasi makro
ekonominya lebih mantap, dan laju inflasinya pun jarang meningkat sampai angka
1 ke atas. Sebagian hal ini menunjukkan usaha yang bersungguh-sungguh untuk
memelihara kestabilan fiskal, sehingga sistem keuangan Islam tidak akan rusak. Kedua,
gerakan buruh di sini jauh kurang kuat dibandingkan dengan di dunia barat. Kehadiran
serikat kerja di sana merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dan
peranan serikat kerja itu pun berbeda dari yang biasanya diharapkan pengusaha Barat,
hal inilah yang harus dicapai Indonesia. Meskipun demikian di beberapa negara
Islam, serikat kerja itu menjalankan fungsi yang sangat mirip dengan
serikat-serikat kerja di Eropa dan Amerika Serikat. Namun pada umumnya hubungan
ketenagakerjaan tidak dilihat dari sudut konfrontasi antara para majikan dan
karyawan.
Namun itu hanya membahas keadaan saja, tapi
bagaimana dengan upah yang layak berdasarkan moral?
Kerisauan moral mengenai upah dinyatakan
dalam tiga cara. Pertama seharusnya upah itu cukup untuk memenuhi semua
kebutuhan pokok, termasuk sandang, pangan dan tempat tinggal.
Semua itu dipandang sebagai hak asasi
manusia, maka masyarakat Islam yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok bagi
semua kaum Muslimin akan dipandang mengalami kegagalan.
Kedua, soal pembagian pendapatan yang wajar
dipandang penting. Sekalipun sering terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang
cukup besar, rakyat mengharapkan agar si kaya tetap menjadi teladan bagi si
miskin, dalam kebiasaan mengeluarkan uang serta konsumsinya. Kekayaan bukanlah
dosa, namun memiliki kekayaan berarti bertanggung jawab sosial. Bila orang kaya
memboroskan uangnya dengan berjudi, atau bergaya hidup yang mencolok, tingkah
lakunya itu dapat merusak akhlak masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai agama
Islam. Karena itu banyak orang kaya yang hidup sederhana dalam menikmati
kekayaannya, walaupun dia memakai perhiasan, barang itu tidak dipamerkannya
secara mencolok mata.
Ketiga, ialah pertimbangan mengenai
pendapatan, haruslah merupakan imbalan jerih payah, dan antara pendapatan
dengan kegiatan kerja harus berkaitan. Menikmati pendapatan tanpa kerja
dipandang tidak bermoral dan inilah yang menjadi alasan untuk mengharamkan
riba. Tetapi di sini soal kegiatan masa kini kurang diperhatikan, berlainan
halnya dengan di dunia Barat. Riwayat jasa di masa lampau dapat membenarkan
dilanjutkannya pembayaran imbalan, seperti juga halnya di Jepang. Juga terdapat
perbedaan tingkat upah yang berlaku di dunia Barat. perbedaan skala gaji
misalnya yang sering terjadi di jawatan pemerintah melalui golongan sarjana dan
bukan sarjana yang melakukan pekerjaan sama. Karyawan penyandang gelar
kesarjanaan akan menerima tambahan gaji, sedangkan gaji tertinggi dibayarkan
kepada orang yang menyandang gelar doktor. Keadaan ini tidak menimbulkan
perasaan jengkel dan premi yang dibayarkan kepada karyawan dengan pendidikan
yang lebih tinggi itu rupanya merupakan sebagian lasan mengapa orang-orang dari
negara-negara Islam belajar di berbagai universitas Barat untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih tinggi.
Masalah gender yang mulai menipis
Lewat permasalahan upah ini, sepertinya
kaum hawa tidak perlu terlalu pusing dalam mencari kerja karena sudah adanya
hak asasi manusia (HAM) sekaligus adanya tingkat pendidikan yang membuat wanita
tidak perlu mengeluarkan tenaga sebagai tenaga seorang pria.
Meskipun demikian bukan berarti wanita
bebas memilih pekerjaan yang disukainya. Adanya kebiasaan melarang wanita
melakukan pekerjaan yang berat seperti menjadi supir angkot atau tukang becak
atau mengikuti olahraga yang ekstrim yang sudah menjadi budaya bahwa pria-lah
yang seharusnya melakukan hal-hal berat. Namun hal itu tak menjadi kendala,
karena lambat laun kebiasaan seperti itu akan hilang.
Walaupun begitu, banyak wanita karir di
Indonesia ini yang mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Tapi sebaliknya
ada pula yang mendapatkan pelecahan dalam pekerjaannya yang membuat dirinya
harus berhati-hati dalam menjaga dirinya karena adanya ancaman dalam pekerjaan
maupun syarat kerja yang tidak menguntungkan.
0 Comments
Posting Komentar